KRI IRIAN
Kapal ini adalah hasil pengembangan dan versi yang lebih besar dari kapal penjelajah kelas Chapayev. Kemiripan kapal penjelajah RI Irian dengan kapal kelas Chapayev adalah pada senjata utama, permesinan, dan perlidungan bagian samping. Sedangkan perbedaannya terletak pada kapasitas bahan bakar yang lebih banyak untuk jarak tempuh yang lebih jauh, lambung yang seluruhnya dilas, proteksi bawah air yang lebih bagus, artileri anti pesawat yang lebih baik dan radar yang lebih baik pula. Istilah pemberian nama kapal perang saat itu cukup dengan RI Irian, RI Macan Tutul dll, sehingga untuk KRI Irian disebut sebagai Kapal Pendjeladjah RI Irian, nomor lambung 201.
Lapisan Baja Pelindung
Dalam satuan milimeter :
Sabuk lapis baja utama : 100 mm
Buritan : 32 mm
Dek : 50 mm
Rumah Dek : 130 mm
Tempurung meriam utama: 175 mm
Peralatan Elektronik
Radar :
Radar Pencari udara Gyus-2
Radar pencari permukaan laut Ryf
Radar navigasi Neptun
Sonar :
Tamir-5N dipasang di hull
Lain-lain :
Machta ECM (electronic Counter Measures)
Jumlah awak kapal
Kapal ini dapat memuat 1.270 awak kapal, termasuk 60 orang perwira, 75 perwira pengawas, dan 154 perwira pertama.
Tenaga penggerak
Sebagai tenaga penggerak, KRI Irian mengandalkan 2 buah turbin uap TB-72 yang mendapat pasokan uap dari 6 buah ketel KV-68 dan disalurkan melalui 2 buah shaft. Tenaga total yang dihasilkan adalah @110.000 HP sampai 122.000 HP pada kedua shaft, tenaga ini mampu membuat kapal seberat 13.600 ton ini mencapai kecepatan maksimum 32,5 knot. Sedangkan jarak maksimum yang bisa ditempuh adalah 9000 mil laut dengan kecepatan konstan 18 knot.
Riwayat KRI Irian
KRI Irian sebelumnya adalah kapal Ordzhonikidze (Орджоникидзе) (Object 055, diambil dari nama Menteri Industri Berat era Stalin, Grigory "Sergo" Ordzhonikidze) dari Armada Baltik AL Soviet, kemudian dibeli oleh pemerintah Indonesia tahun 1962. Saat itu KRI Irian adalah kapal terbesar di belahan bumi selatan. Kapal ini digunakan secara aktif untuk persiapan merebut Irian Barat.
Awal
Kapal ini dibuat di Admiralty Yard, Leningrad. Peletakan lunas pertama dilakukan tanggal 9 Oktober 1949, diluncurkan tanggal 17 September 1950, dan pertama kali dioperasikan tanggal 30 Juni 1952.
Persiapan Pengoperasian di Indonesia
Pada 11 Januari 1961 Pemerintah Soviet mulai mengeluarkan instruksi kepada Biro Desain Pusat #17 untuk memodifikasi Ordzhonikidze supaya ideal beroperasi di daerah tropis. Modernisasi skala besar dilakukan untuk membuat kapal ini dapat dioperasikan pada suhu +40 °C, kelembapan 95%, dan temperatur air +30 °C.
Tetapi perwakilan dari Angkatan Laut Indonesia yang berkunjung ke kota Baltiisk menyatakan bahwa mereka tidak sanggup untuk menanggung biaya proyek sebesar itu. Akhirnya modernisasi dialihkan untuk instalasi genset diesel yang lebih kuat guna menggerakkan ventilator tambahan.
Tanggal 14 Februari 1961 kapal ini tiba di Sevastopol, dan tanggal 5 April 1962 kapal ini memulai uji coba lautnya. Pada saat itu kru Indonesia (ALRI) untuk kapal ini sudah terbentuk dan ada di atas kapal. Mekanik kapal ini, Bapak Yatijan, di kemudian hari menjadi Kepala Departemen Teknik ALRI. Begitu juga banyak dari pelaut yang lain, banyak yang dikemudian hari mampu menduduki posisi penting.
Operasional
KRI Irian tiba di Surabaya pada 5 Agustus 1962 dan dinyatakan keluar dari kedinasan AL Soviet pada 24 Januari 1963. Sebelumnya Uni Soviet tidak pernah menjual kapal dengan bobot seberat ini kepada negara lain kecuali kepada Indonesia. ALRI yang belum pernah mempunyai armada sendiri sebelumnya, belajar untuk mengoperasikan kapal-kapal canggih dan mahal ini dengan cara trial and error/coba-coba. Bulan November 1962 tercatat sebuah mesin diesel kapal selam rusak karena benturan hidrolis saat naik ke permukaan, sebuah destroyer rusak dan 3 dari 6 boiler KRI Irian rusak. Suhu yang panas dan kelembapan tinggi berefek negatif terhadap armada ALRI, akibatnya banyak peralatan yang tidak bisa dioperasikan secara optimal. Di lain pihak kehadiran kapal ini membuat AL Kerajaan Belanda secara drastis mengurangi kehadirannya di perairan Irian Barat.
Perbaikan
Pada 1964 kapal penjelajah ini sudah benar-benar kehilangan efisiensi operasionalnya dan akhirnya dikirim ke Vladivostok untuk perbaikan. Bulan Maret 1964, KRI Irian sampai di Pabrik Dalzavod. Para pelaut dan teknisi Soviet terkejut melihat kondisi kapal dan banyaknya perbaikan kecil yang seharusnya sudah dilakukan oleh para awak kapal ternyata tidak dilakukan. Mereka juga tertarik dengan sedikit modifikasi yang dilakukan ALRI yaitu mengubah ruang pakaian menjadi ruang ibadah (sesuatu yang tentu tidak mungkin terjadi di Uni Soviet).
Penugasan Kembali
Setelah perbaikan selesai pada bulan Agustus 1964 kapal kembali berlayar menuju Surabaya dengan dikawal oleh destroyer AL Uni Soviet. Setahun kemudian (1965), terjadi pergantian pemerintahan. Kekuasaan pemerintah praktis berada di tangan Jenderal Soeharto. Perhatian Soeharto terhadap ALRI sangat berbeda dibandingkan Sukarno. Kapal ini dibiarkan terbengkalai di Surabaya, bahkan kadang-kadang digunakan sebagai penjara bagi lawan politik Soeharto.
Pemensiunan
Terdapat beberapa versi tentang riwayat KRI Irian setelah peristiwa G30S:
- Versi pertama menyebutkan bahwa tahun 1970, KRI Irian sudah sedemikian parah keadaannya hingga sedikit demi sedikit mulai dibanjiri air. Tidak ada orang yang peduli untuk menyelamatkan kapal penjelajah ini. Sehingga pada masa Laksamana Sudomo menjabat sebagai KSAL, maka KRI IRIAN di besituakan ( scrap ) di Taiwan pada tahun 1972 dengan alasan kekurangan komponen suku cadang kronis.
- Versi kedua, menurut Hendro Subroto, kapal perang yang dibuat hanya empat buah ini dijual ke Jepang setelah persenjataanya dipreteli. “ Padahal di Tanjung Priok masih ada dua gudang suku cadang. Tapi karena perawatan sebelumnya di tangani orang Rusia, selepas Gestapu, kita tidak punya teknisi lagi, “ kata Hendro.
- Versi ketiga menyebutkan bahwa ketika dibawa untuk dibesituakan, di tengah perjalanan KRI Irian dicegat oleh kapal Uni Sovyet. Versi ketiga ini adalah analisis dari penulis sendiri setelah membaca laporan dari berbagai majalah militer yang mengulas mengenai persenjataan Uni Sovyet semasa Perang Dingin. Uni Soviet hanya menjual penjelajah ringan kelas Sverdlov kepada dua negara, yaitu Indonesia (1962) dan India (1989–scrap). Ada dugaan bahwa pihak yang paling tidak menginginkan apabila kelas Sverdlov jatuh ke tangan pihak Barat adalah Uni Soviet. Teori ketiga, ada kemungkinan Uni Soviet mencegat kapal tersebut dan kemudian mengambil alih dengan kesepakatan, bisa jadi dengan mengurangi sejumlah hutang pembelian senjata yang belum dilunasi atau bisa jadi dengan melunaskannya. Dari ke-4 buah itu, hanya KRI Irian (Ordzhonikidze/Object 055) yang keberadaannya masih misterius.
Persenjataan
Senjata artileri KRI Irian
Senjata utama dari KRI Irian adalah 4 buah turret/kubah, dimana setiap turret berisi 3 meriam kaliber 6 inchi. Sehingga total ada 12 meriam kaliber 6 inchi di geladaknya. Lalu :
10 tabung torpedo antikapal selam kaliber 533 mm
12 buah kanon tipe 57 cal. B-38 kaliber 15.2 cm (6 di depan, 6 di belakang)
12 buah kanon ganda tipe 56 cal. Model 1934 6 (twin) SM-5-1 kaliber 10 cm
32 buah kanon multi fungsi kaliber 3,7 cm
4 buah triple gun Mk5-bis kaliber 20 mm (untuk keperluan antiserangan udara)
Fakta Sejarah
Dalam sejarah, KRI Irian sekalipun pernah dilibatkan secara langsung ke dalam konfrontasi dengan Belanda memperebutkan Irian Barat, kapal ini belum pernah sedikit pun terlibat perang hebat di permukaan laut di perairan Indonesia. Ketika KRI Irian memasuki perairan NKRI pada tanggal 5 Agustus 1962, kapal induk Kerajaan Belanda Hr.Ms. Karel Doorman segera diperintahkan untuk menyingkir dari perairan NKRI guna menghindari kontak langsung dengan KRI Irian.
Nampaknya,sekalipun tidak terlibat kontak fisik secara langsung, kehadiran KRI Irian memberikan dampak politik yang cukup besar. Hal ini terbukti membuat Amerika Serikat untuk memaksa Belanda segera keluar dari NKRI untuk melakukan perundingan dengan Pemerintah Indonesia di New York tanggal 15 Agustus 1962.
Belum lama setelah perundingan di New York tentang penyerahan kekuasaan dari pemerintah Kerajaan Belanda kepada UNTEA (PBB), kondisi KRI Irian semakin mengenaskan.
Suhu dan kelembapan perairan di Indonesia yang cukup tinggi menyebabkan cukup banyak permasalahan teknis yang dihadapi oleh KRI Irian. Karena sudah dianggap kehilangan banyak efisiensi secara operasional, maka pada tahun 1964, KRI Irian dikirimkan kembali ke Uni Sovyet, di wilayah Vladivostok untuk perbaikan di Pabrik Dalzavod. Pada tahun yang sama, setelah perbaikan selesai, kemudian kapal ini dikirimkan kembali ke Surabaya, kali ini dikawal langsung oleh Destroyer AL Uni Sovyet.
Setelah pergantian kekuasaan ke rezim Orde Baru, nampaknya Soeharto (Alm) tidak terlalu tertarik dengan keberadaan KRI Irian. Pemerintah rezim Orde Baru sama sekali tidak menaruh perhatian sehingga KRI Irian dibiarkan terbengkalai. Alasannya, biaya operasional untuk menjalankan kapal ini sangat besar. Logikanya memang demikian, karena untuk menjalankan KRI Irian setidaknya dibutuhkan sekitar 1200an personel militer (laut). Tentu saja ini bertentangan dengan doktrin pertahanan nasional yang ketika itu lebih banyak difokuskan ke matra darat (TNI-AD).
Akhir Cerita
Akhir cerita dari KRI Irian sesungguhnya tidak jelas hingga sekarang ini. Masih banyak masyarakat Indonesia yang tidak mengetahui jika dirinya pernah memiliki persenjataan terbesar yang pernah dimiliki bangsa Asia. Ada beberapa versi yang menyebutkan keberadaan terakhir KRI Irian dan masing-masing masih kontroversi.
Versi Pertama menyebutkan bahwa KRI Irian dibesituakan (scrap) di Taiwan semasa TNI-AL dipimpin oleh Laksamana Soedomo (KSAL) pada tahun 1970. Alasannya, keberadaan KRI Irian sudah tidak memungkinkan lagi untuk dipertahankan mengingat kondisi fisik yang sudah memprihatinkan. Jika saja dibesituakan di Taiwan, akan tetapi tidak ditemukan catatan administratif mengenai keberadaan kapal penjelajah ringan kelas Sverdlov di dok besi tua di Taiwan.
Versi Kedua, KRI Irian dijual ke Jepang setelah semua persenjataannya dilucuti. Tidak jelas pula alasannya karena di Tanjung Priok ketika itu masih terdapat dua buah gudang suku cadang. Informasi yang disebutikan oleh Hendro Subroto mengatakan bahwa perawatan teknisi tidak dapat dilakukan lagi karena sebelumnya perawatan lebih banyak ditangani oleh teknisi dari Rusia. Sekalipun demikian,tidak ditemukan pula laporan adanya kapal penjelajah ringan kelas Sverdlov yang mangkir di dermaga ataupun dok di Jepang.
Versi Ketiga, ketika dibawa keluar untuk dibesituakan, di tengah perjalanan KRI Irian dicegat oleh kapal Uni Sovyet. Versi ketiga ini adalah analisis dari saya sendiri setelah membaca laporan dari berbagai majalah militer yang mengulas mengenai persenjataan Uni Sovyet semasa perang dingin. Pada pemabahasan di awal sudah saya sebutkan jika Uni Sovyet hanya menjual penjelajah ringan kelas Sverdlov kepada dua negara, yaitu Indonesia (1962) dan India (1989 – Scrap).
Ada dugaan jika pihak yang paling tidak menginginkan apabila kelas Sverdlov jatuh ke tangan pihak Barat adalah Uni Sovyet. Seperti kita ketahui, KRI Irian mengusung teknologi yang masih belum diketahui oleh pihak barat (NATO). Ada rumor jika Uni Sovyet mencegat kapal tersebut dan kemudian mengambil alih dengan kesepakatan, bisa jadi dengan mengurangi sejumlah hutang pembelian senjata yang belum dilunasi atau bisa jadi dengan membayarkan secara tunai. Di antara keseluruhan kelas Sverdlov sebanyak 14 biji itu, hanya keberadaan KRI Irian (Ordzhonikidze – Object 055) yang masih misterius.
Jika di antara pembaca ada yang pernah mengetahui atau memiliki informasi tentang keberadaan kapal KRI Irian, mohon bisa segera diberitahukan di sini. Terima kasih. :)
- Ireland, Bernard, 1996, Jane’s Battleships of the 20th Century, HarperResource, Toronto.
- Ireland, Bernard and Eric Grove, 1997, Jane’s War at Sea 1897-1997: 100 Years of Jane’s Fighting Ships, Centennial Edition, Collins, New York.
- Jackson, Robert, 2006, The Encyclopedia of Warships: From World War II to the Present Day, Tenth Printed, Thunder Bay Press, San Diego.